"Udah baca buku ini, kang?" teman saya bertanya sambil menunjukkan sebuah buku dengan desain muka kecoklatan yang apik. Negeri 5 Menara. "Ini novel yang tidak tamat saya baca dalam satu hari, biasanya sih cepet. Mungkin karena pikiran saya mengawang2 saat membacanya. Saya dulu tinggal di asrama."
Tanpa basa-basi saya terima buku tersebut. Maksudnya meminjam. Tapi dalam hati saya memaki, "dasar kutu buku!"
***
Cerita dimulai dengan kebimbangan Alif, seorang siswa ranah Minang, yang bercita2 menjadi Habibie tapi diminta ibunya untuk belajar ilmu agama. Akhirnya ia menurut dan menjadi siswa di sebuah pesantren modern, Pondok Madani, di Jawa Timur.
Di sekolah barunya ini ia menemukan adat istiadat yang benar2 beda dengan sekolah umum. Ya bedalah, ini kan pesantren! Tapi pesantren modern yang mengharuskan siswanya menguasai bahasa Arab dan juga Inggris. Dengan aturan super ketat dan jadwal yang ultra padat. Perasaan kegiatan di ITB (cita2 asli Alif) tidak sepadat itu. Namun lambat laun ia beradaptasi dengan lingkungan barunya dan bahkan menikmati kehidupannya itu.
Cerita berlanjut dengan kehidupan sehari2 di pondok yang benar2 penuh warna (dalam hal positif) dan, bagi saya, tampaknya mengasyikkan. Banyak pesan dan hikmah yang bisa diambil dari kehidupan mereka sehari2. Sangat menghibur, membangkitkan semangat dan sarat makna.
Namun membaca buku ini secara teliti membuat saya sedikit bosan. Dari awal sampai pertengahan saya belum bisa menemukan apa konflik besar yang mungkin terjadi. Beberapa hal bahkan cukup mengganggu, saya tuliskan di bawah. Jadi saya terpaksa menggunakan jurus editor: yaitu membaca bagian awal dan yang pentingnya saja. Saya tahu banyak hal yang akan saya lewatkan. Tapi alhamdulilah, cerita seru saat memburu foto bareng Sarah, nonton bareng semifinal Piala Thomas 1988, Class Six Show, konflik ITB (konflik utamanya kayaknya ini, deh), serta peristiwa heroik bulis lail tidak terlewatkan.
Cerita yang cukup rinci tentang kedatangan Alif dan aktivitas sehari2 di PM serta terbentuknya Sahibul Menara sedikit mengingatkan saya pada cerita Harry Potter dan sahabat2nya. Sementara kehidupan di pesantren dan segala romantikanya (ustad yang ikut sepakbola, perawan di sarang santri, pertunjukan drama, dll) sangat mengingatkan saya pada Dongeng Enteng Ti Pasantren karya RAF. Bedanya, dalam Dongeng Enteng ada bagian kegiatan bulan Puasa sementara di Pondok Madani siswa sedang libur. Tapi kadar hiburannya masih kalah jauh kalau harus dibandingkan dengan Dongeng Enteng.
Kalimat yang kasual dan ringan pastinya membuat buku ini bisa diterima oleh siapapun. Dan tentunya, untuk orang2 yang pernah tinggal di pondok, pesantren atau asrama akan menemukan kenangan mereka dibangkitkan dengan indah. Secara keseluruhan, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca dan layak dikoleksi. Belum lagi, membeli buku ini sekaligus menyumbang untuk korban gempa Sumatera.
Dan hal2 yang mengganggu saya dalam buku ini antara lain:
Penjelasan tentang beberapa hal suka diulang2, seakan hal itu baru dikemukakan. Seperti tentang ustad yang ikut sepakbola, penjelasannya diulang setidaknya dua kali. Saya maklum kalau di tiap buku serial Trio Detektif penjelasan tentang markas mereka selalu diulang. Tapi ini, kan, dalam satu buku.
Di PM, ada jadwal tersendiri tentang penggunaan bahasa yg wajib ditaati. Bisa dimaklumi, kalau dalam buku, penggunaan Arab dan Indonesia dicampur. Atau Inggris dan Indonesia, itu pasti untuk keperluan pembaca, kan pembacanya orang Indonesia. Tapi beberapa kali tiga bahasa itu dicampur dalam sebuah kalimat langsung (kalimat di dalam tanda petik)! Otak dangkal saya tidak bisa memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
Dan paling mengganggu adalah banyak sekali kata yang tidak baku (berdesakkan, mengkilat, dll) dan penempatan tanda baca yang tidak semestinya. Juga nama Atang yang pernah menjadi Tatang. Ini mungkin karena beberapa, sedikit, mungkin cuma satu :D, buku teks berbahasa asing yang saya baca selalu konsisten dengan aturan diksi, pemformatan dan tanda baca. Saya sedikit ragu untuk menyalahkan tim editor mengingat buku ini sudah cetakan ke-tiga. Hehe ...
Waktu empat tahun menjadi enam kelas (tingkat) juga cukup membingungkan. Saya pikir karena Alif (tokoh utama) lulusan SMP maka dia harus di PM selama empat tahun, tapi Sahibul Menara yang lain juga empat tahun. Padahal beberapa disebutkan pernah SMA. Mungkin pernah tapi tidak tamat, ya, jadi dianggap lulusan SMP. Lalu, kelas satu dan kelas enam dilewati selama masing2 satu tahun. Jadi kelas 2, 3, 4 dan 5 dilewati dua tahun saja? Hihi ...
Bonus: Bab empat buku ini berjudul Kampung di Atas Kabut, tapi di kalimat akhir saat Sahibul Menara menginggalkan PM sebutannya berubah menjadi "kampung di atas awan." Saya pikir ini karena saat itu para tokoh utama sudah berhasil membangun kampung2 mereka di atas awan impian masing2.
***
Judul: Negeri 5 Menara
Penulis: Ahmad Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2009 (cetakan ke-3, Oktober 2009)
Gambar dari: http://www.negeri5menara.com
Tanpa basa-basi saya terima buku tersebut. Maksudnya meminjam. Tapi dalam hati saya memaki, "dasar kutu buku!"
***
Cerita dimulai dengan kebimbangan Alif, seorang siswa ranah Minang, yang bercita2 menjadi Habibie tapi diminta ibunya untuk belajar ilmu agama. Akhirnya ia menurut dan menjadi siswa di sebuah pesantren modern, Pondok Madani, di Jawa Timur.
Di sekolah barunya ini ia menemukan adat istiadat yang benar2 beda dengan sekolah umum. Ya bedalah, ini kan pesantren! Tapi pesantren modern yang mengharuskan siswanya menguasai bahasa Arab dan juga Inggris. Dengan aturan super ketat dan jadwal yang ultra padat. Perasaan kegiatan di ITB (cita2 asli Alif) tidak sepadat itu. Namun lambat laun ia beradaptasi dengan lingkungan barunya dan bahkan menikmati kehidupannya itu.
Cerita berlanjut dengan kehidupan sehari2 di pondok yang benar2 penuh warna (dalam hal positif) dan, bagi saya, tampaknya mengasyikkan. Banyak pesan dan hikmah yang bisa diambil dari kehidupan mereka sehari2. Sangat menghibur, membangkitkan semangat dan sarat makna.
Namun membaca buku ini secara teliti membuat saya sedikit bosan. Dari awal sampai pertengahan saya belum bisa menemukan apa konflik besar yang mungkin terjadi. Beberapa hal bahkan cukup mengganggu, saya tuliskan di bawah. Jadi saya terpaksa menggunakan jurus editor: yaitu membaca bagian awal dan yang pentingnya saja. Saya tahu banyak hal yang akan saya lewatkan. Tapi alhamdulilah, cerita seru saat memburu foto bareng Sarah, nonton bareng semifinal Piala Thomas 1988, Class Six Show, konflik ITB (konflik utamanya kayaknya ini, deh), serta peristiwa heroik bulis lail tidak terlewatkan.
Cerita yang cukup rinci tentang kedatangan Alif dan aktivitas sehari2 di PM serta terbentuknya Sahibul Menara sedikit mengingatkan saya pada cerita Harry Potter dan sahabat2nya. Sementara kehidupan di pesantren dan segala romantikanya (ustad yang ikut sepakbola, perawan di sarang santri, pertunjukan drama, dll) sangat mengingatkan saya pada Dongeng Enteng Ti Pasantren karya RAF. Bedanya, dalam Dongeng Enteng ada bagian kegiatan bulan Puasa sementara di Pondok Madani siswa sedang libur. Tapi kadar hiburannya masih kalah jauh kalau harus dibandingkan dengan Dongeng Enteng.
Kalimat yang kasual dan ringan pastinya membuat buku ini bisa diterima oleh siapapun. Dan tentunya, untuk orang2 yang pernah tinggal di pondok, pesantren atau asrama akan menemukan kenangan mereka dibangkitkan dengan indah. Secara keseluruhan, buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca dan layak dikoleksi. Belum lagi, membeli buku ini sekaligus menyumbang untuk korban gempa Sumatera.
Dan hal2 yang mengganggu saya dalam buku ini antara lain:
Penjelasan tentang beberapa hal suka diulang2, seakan hal itu baru dikemukakan. Seperti tentang ustad yang ikut sepakbola, penjelasannya diulang setidaknya dua kali. Saya maklum kalau di tiap buku serial Trio Detektif penjelasan tentang markas mereka selalu diulang. Tapi ini, kan, dalam satu buku.
Di PM, ada jadwal tersendiri tentang penggunaan bahasa yg wajib ditaati. Bisa dimaklumi, kalau dalam buku, penggunaan Arab dan Indonesia dicampur. Atau Inggris dan Indonesia, itu pasti untuk keperluan pembaca, kan pembacanya orang Indonesia. Tapi beberapa kali tiga bahasa itu dicampur dalam sebuah kalimat langsung (kalimat di dalam tanda petik)! Otak dangkal saya tidak bisa memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
Dan paling mengganggu adalah banyak sekali kata yang tidak baku (berdesakkan, mengkilat, dll) dan penempatan tanda baca yang tidak semestinya. Juga nama Atang yang pernah menjadi Tatang. Ini mungkin karena beberapa, sedikit, mungkin cuma satu :D, buku teks berbahasa asing yang saya baca selalu konsisten dengan aturan diksi, pemformatan dan tanda baca. Saya sedikit ragu untuk menyalahkan tim editor mengingat buku ini sudah cetakan ke-tiga. Hehe ...
Waktu empat tahun menjadi enam kelas (tingkat) juga cukup membingungkan. Saya pikir karena Alif (tokoh utama) lulusan SMP maka dia harus di PM selama empat tahun, tapi Sahibul Menara yang lain juga empat tahun. Padahal beberapa disebutkan pernah SMA. Mungkin pernah tapi tidak tamat, ya, jadi dianggap lulusan SMP. Lalu, kelas satu dan kelas enam dilewati selama masing2 satu tahun. Jadi kelas 2, 3, 4 dan 5 dilewati dua tahun saja? Hihi ...
Bonus: Bab empat buku ini berjudul Kampung di Atas Kabut, tapi di kalimat akhir saat Sahibul Menara menginggalkan PM sebutannya berubah menjadi "kampung di atas awan." Saya pikir ini karena saat itu para tokoh utama sudah berhasil membangun kampung2 mereka di atas awan impian masing2.
***
Judul: Negeri 5 Menara
Penulis: Ahmad Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2009 (cetakan ke-3, Oktober 2009)
Gambar dari: http://www.negeri5menara.com
Comments