Skip to main content

Syukur aku sembahkan

Serombongan bencong terlihat berjalan dengan pasti ke arah halte tempat seorang pemuda berdiri. Demi menghindari kekacauan, si pemuda kemudian menyetop bis yang pertama lewat di depannya.

Semua kursi penuh. Si pemuda langsung mengambil tempat favoritnya jika ia harus berdiri: di area kosong di belakang kursi sopir. Yah, agak panas sih, karena matahari yang masih berada di timur justru berada si sebelah kanan jalur bis kota. Tapi tak masalah, lah. Tak bisa berharap banyak untuk perjalanan antar kota di Jakarta dengan ongkos dua ribu rupiah.

Di sebuah pertigaan, bis yang ditunggangi si pemuda berhenti untuk menaikkan beberapa penumpang. Yang pastinya harus berdiri juga. Si pemuda, berharap ada penumpang (perempuan, menarik) yang sebaya dengannya, memperhatikan semua yang naik. Penumpang terakhir yang naik adalah seorang ibu yang sepertinya berusia empat puluhan.

Ow, ow .... Ibu ini mengingatkannya pada sesuatu. Hehe, seseorang lebih tepatnya. Caranya berpakaian. Sosoknya. Wajahnya.

Sejenak si pemuda terlena. Selintas ingatannya kembali ke kampung halamannya. Kota kelahirannya. Keluarganya. Dan sebuah pengalaman pahit.

Sejenak kemudian si pemuda menundukkan kepala. Tersenyum tipis, tak kentara. Lalu mukanya diangkat, dan memandang lurus ke kaca depan bis yang sedang melaju kencang berbalapan dengan bis lain dengan trayek yang sama. Masih dengan senyum tipis di bibirnya. Senyum peralihan antara masygul dan tenteram.

Diam2 si pemuda bersyukur. Hatinya sedikit menghangat. Yang dia lihat tidak nyata, tapi kenyataannya tidak akan jauh dari itu. Dia tahu. Dia sadar. Dia bisa melihatnya.

Hati yang tenteram di pagi yang cerah. Terimakasih, Tuhan.

Comments